Cerita favorit saya tentang sistem kredit (utang) sebagai uang adalah tentang kalimat "Saya Menginginkan Seluruh Dunia Plus 5%." Bagi Anda yang tidak menyukai bacaan panjang dan berat, dongeng ini bisa menjadi cerita pembuka selera Anda.
Hari ini saya akan memposting sebuah dongeng tetang "UANG". Cerita ini berisi tentang kredit sebagai uang, sistem yang sudah dipakai di seluruh dunia selama beberapa ratus tahun terakhir
Bagi Anda yang masih hidup dalam ilusi bahwa Indonesia merdeka tahun 1945, bangunlah dari tidurmu kawan.. Kita semua masih adalah budak, bedanya hanya tuan kita sekarang tidak muncul langsung di hadapan kita, memerintah kita untukkerja paksa seperti waktu jaman kolonial.
Setiap rupiah uang di negara kita, dan juga negara lainnya adalah kredit, alias utang. Dan Uang muncul hanya dalam bentuk kredit. Kita semua adalah penyewa uang, tidak lebih dari itu.
Yang namanya utang harus dibayarkan kembali plus bunga yang tidak diciptakan oleh bankir. Sampai kapan pun total utang tidak mungkin dilunasi. Tahun demi tahun, kita bekerja untuk hanya untuk melayani dan memperkaya sang pencipta kredit, yaitu para bankir..!
Lhoh kok bisa? Nah inilah dongeng yang akan saya sampaikan untuk anda pembaca budiman agar bisa memperjelas wawasan dan minda, ini akan di sampaikan lewat dogeng santai. Simak kisahnya.
* * *
Korban Kapal Tenggelam
Karena suatu kecelakaan sebuah kapal tenggelam. Pada akhirnya, tinggal 5 yang selamat, mereka menaiki sebuah rakit dan dibawa oleh arus ombak.Kelima orang ini: Tono, si tukang kayu. Bejo, seorang petani. Pono, peternak. Jono, penanam agrikultur. Dan Piko, seorang mineral logistik.
Sebuah Pulau Yang Penuh Berkah
Pulau yang dipenuhi keberkahan kelima orang ini, menginjakkan kembali kaki ke daratan, bahagianya ibarat baru bangkit dari kuburan. Syukurnya pulau yang mereka datangi ini adalah tanah yang subur.
Pono, si peternak, sepenuhnya yakin dia bisa beternak dengan baik binatang-binatang di pulau itu. Bejo juga meyakini tanah di pulau ini mudah untuk ditanami. Jono menemukan bahwa beberapa pohon buah-buahan di sana, bila dirawat dengan baik, akan menghasilkan panen yang lumayan. Pulau itu juga penuh dengan pohon, Tono si tukang kayu akan dengan mudah mendapatkan kayu dan mulai membangunkan rumah-rumah. Dan si Piko, walaupun kekurangan alat kerja, tapi dengan keahliannya, masih sanggup menambang secara sederhana kekayaan alam di sana.
Kekayaan Yang Sebenarnya
Inilah mereka yang sedang bekerja. Si tukang kayu membangun rumah dan perabotan. Awalnya mereka mencari makanan seadanya. Tetapi dengan berlalunya waktu, tanah-tanah mulai dikerjakan dengan rapi di tanami, dan si petani pun mulai bisa menikmati panennya.
Waktu terus berlalu, dengan kerja keras dari kelima orang ini, pulau yang mereka datangi ini pun menjadi semakin kaya. Kekayaan mereka bukanlah dalam bentuk emas atau kertas uang perbankan, tetapi kekayaan dari barang-barang yang benar-benar memiliki nilai, kekayaan dalam bentuk makanan, pakaian, hunian, dan segala yang lain yang diperlukan oleh manusia.
Setiap orang mengerjakan apa yang dia bisa. Surplus dari produksinya mereka saling bertukar satu sama lain. Walaupun kehidupan tidak gampang, karena masih banyak hal lainnya yang mereka perlu nikmati seperti sebelumnya, yaitu sebelum kapal mereka tenggelam, tetapi setidaknya mereka sekarang terbebas dari yang namanya pajak, atau rasa takut akan sitaan harta. Mereka hidup dengan sulit tetapi setidaknya bisa menikmati buah dari pekerjaan mereka.
Sambil berupaya untuk hidup, mereka tetap berdoa, berharap suatu hari mereka bisa kembali lagi berkumpul dengan keluarga mereka seperti dulunya.
Transaksi Yang Tidak Nyaman
Dengan berlalunya waktu, akhirnya mereka menemukan sebuah hal yang sangat menggangu, mereka tidak memiliki uang sebagai medium pertukaran yang lebih baik. Produk yang mereka pertukarkan, tidak selalu ada di tangan saat sebuah transaksi dijalankan.
Contoh, kayu yang diberikan kepada petani tidak bisa dibayar oleh si petani sebelum 6 bulan masa tanam berakhir. Kadang-kadang, seseorang memiliki sesuatu yang nilainya lebih besar daripada yang barang yang ada di tangan rekan dagangannya.
Orang-orang ini, walaupun mereka tahu cara memproduksi barang, kekayaan yang sebenarnya, tetapi bagaimana menciptakan uang, yaitu simbol dari kekayaan saat ini, dan itu sesuatu di luar kemampuan berfikir mereka.
Tentu saja, orang berpindidikan juga kadang sama, demikian juga para pejabat di pemerintahan, semuanya tidak tahu bagaimana uang harus diciptakan.
Datangnya Seorang Pendatang
Suatu hari, saat kelima orang ini sedang duduk-duduk di pantai, mendadak datang sebuah kapal kecil dengan seorang penumpang. Orang ini ternyata adalah seorang korban yang selamat dari kapal lain yang juga tenggelam, nama orang ini adalah Mukidi.
Bahagia karena memiliki teman baru, kelima orang ini memperlakukan dia dengan sangat baik, dan mereka pun bercerita kepada Mukidi tentang kesulitan mereka karena tiadanya uang untuk digunakan.
“Oh, kebetulan sekali!,” Kata Mukidi, “Karena saya sebenarnya adalah seorang bankir. Dalam waktu singkat, saya akan merancang sebuah sistem keuangan yang saya jamin akan memuaskan kalian semua. Kalian akan mulai kembali ke peradaban.”
Kelima orang ini pun bersyukur luar biasa atas datangnya bankir tersebut, ibarat malaikat yang diutus oleh Tuhan. Bukankah kita-kita, yang hidup dalam peradaban yang maju, memang terbiasa memuja para bankir, sang penguasa dan darah dari sistem finansial kita?
Dewa Peradaban
“Oh Bapak Mukidi, sebagai bankir kami, tugas Anda satu-satunya adalah menjaga uang kami, Anda tidak perlu bekerja di lapangan.”
Mukidi mulai mengambil barang-barang yang dia selamatkan dari kapalnya yang tenggelam, kertas dan sebuah mesin cetak, lengkap dengan tintanya, dan juga sebuah gentong besar.
Gentong ini, kata Mukidi, “Berisi harta yang paling berharga… Emas!”
“Wow…. Hebat, benar-benar malaikat utusan Tuhan. Barang kuning ini, walaupun lebih sering disembunyikan dan tidak kelihatan, tetapi senantiasa memiliki kekuasaan yang amat besar, bahkan bisa mempengaruhi nasib dari sebuah bangsa."
“Kawan-kawan, emas ini lebih dari cukup untuk kalian semua. Tetapi emas ini tidak untuk disirkulasikan. Emas harus tersembunyi. Emas adalah jiwa dari uang yang sehat, dan yang namanya jiwa selalu tidak kelihatan. Saya akan menjelaskannya nanti saat Anda mendapatkan suplai uang Anda yang pertama.”
Galian Rahasia
Mukidi bertanya kepada kelima orang ini tentang berapa kira-kira yang mereka butuhkan untuk memulai perdagangan, dan mereka menjawab “$200 sudah cukup.”
Kelima orang ini bahagia sampai tidak bisa tidur, dalam kepala mereka sekarang penuh dengan gambaran emas di tangan mereka.
Mukidi sendiri, bekerja penuh semangat karena bahagianya dia akan nasibnya sebagai bankir. Mula-mula dia menggali sebuah lubang untuk meletakkan tong yang berisi emas itu. Kemudian dia pun sibuk mencetak uang-uang kertas $1 Dollar baru sebanyak 1000 lembar.
“Hebat, betapa sederhananya membuat uang. Semua nilainya datang dari produk yang bisa dibelinya. Tanpa produksi, kertas-kertas ini sebenarnya sampah. Kelima pelanggan saya yang naïf tidak menyadari ini. Mereka benar-benar berpikir uang ini nilainya datang dari emas. Kebodohan mereka adalah alasan mengapa saya harus menjadi tuan mereka.”
Besoknya, kelima orang ini pun menghampiri Mukidi.
Siapa Pemilik Uang Ini?
Lima set uang sudah siap di atas meja.
Mukidi berkata, “Sebelum Anda mengambilnya, saya ingin perhatian dari Anda. Basis dari uang ini adalah emas. Dan emas yang saya simpan adalah emas saya. Konsekwensinya, uang ini adalah uang saya. Tapi jangan bersedih, saya akan meminjamkannya kepada Anda. Namun, Anda harus membayar bunga. Mengingat uang sangat susah didapat, saya rasa 8% tidaklah terlalu tinggi.”
“Oh, tentu saja, Pak Mukidi,” Kata kelima orang itu.
Mukidi menyambung, “Hal yang terakhir kawan, bisnis adalah bisnis, walaupun antara kawan akrab. Sebelum Anda mengambil uang ini, masing-masing dari Anda harus menandatangani surat ini. Anda berjanji akan membayar bunga dan juga pinjaman pokok, bila tidak saya akan memiliki hak untuk menyita aset Anda. Tentu saja, ini hanya formalitas. Properti Anda tidaklah menarik bagi saya, saya hanya ingin uang. Saya yakin saya akan mendapatkan uang saya kembali, dan Anda juga tidak akan berpisah dengan harta Anda.”
“Hm, masuk akal Pak Mukidi. Kami akan bekerja lebih keras lagi supaya bisa membayar Anda kembali.” Dan kelima orang ini pun mengambil uang tersebut dan mulai menggunakannya.
Sebuah Masalah Arimatika
Uang dari Mukidi beredar dengan cepat di pulau tersebut untuk alat perdagangan, karena dipermudah oleh adanya uang, dan nilainya meningkat dua kali lipat. Semua orang bahagia. Si bankir pun mulai mendapat status dan rasa hormat dari kelima orang tersebut.
Tetapi, mari kita lihat… Mengapa si Piko tampak murung? Karena Piko, sama seperti teman-temannya, telah menandatangani surat perjanjian kepada Mukidi. Dalam waktu satu tahun, $200 + $16 bunga harus dikembalikan. Tetapi Piko hanya menyisakan beberapa dolar sekarang, dan waktu untuk membayar sudah semakin dekat.
Sudah lama juga dia bimbang.. Mukidi meminjamkan $1000 kepada mereka berlima, tetapi uang yang harus dikembalikan adalah $1080. Sekalipun mereka berlima mengembalkan semua uang di tangan kepada Mukidi, mereka masih kekurangan $80. Tak seorang pun memiliki $80 ini.
Memang mereka yang memproduksi barang, tetapi mereka tidak memproduksi uang. Mukidi pada dasarnya bisa mengambil alih seluruh pulau ini, karena mereka berlima sama sekali tidak sanggup membayar kepada Mukidi sesuai perjanjian.
Piko pun mulai berdiskusi dengan keempat temannya, Piko berhasil menjelaskan kepada mereka tentang anehnya sistem ini. Teman-teman Piko mulai mengerti, dan mereka pun memutuskan untuk mengadakan pertemuan dengan Mukidi.
Bankir Yang Baik Hati
Lima orang ini pun berdebat dengan Mukidi tentang masalah ini.
“Mana mungkin kami sanggup membayar $1080 kalau semua uang yang eksis hanya $1000?”
Mukidi mendengarkan dengan tenang, dan kemudian menjawab kepada mereka, “Bankir yang baik selalu beradaptasi dengan keadaan. Mulai sekarang kalian hanya perlu membayar bunganya saja kepadaku. Pokok pinjaman bisa Anda simpan terus.”
“Maksudnya $200 pinjaman kami dianggap lunas?” Tanya salah satu dari mereka.
“Tentu saja tidak. Bankir tidak akan menghapuskan hutang. Yang saya maksudkan adalah mulai sekarang Anda hanya perlu membayar bunganya saja, $80 per tahun kepada saya. Mungkin di antara kalian ada yang kekurangan uang karena kurangnya perdagangan.
Kalau begitu, organisasikan komunitas Anda seperti sebuah bangsa. Buat sebuah sistem kontribusi, yaitu apa yang kita sebut dengan pajak. Orang yang punya lebih harus membayar lebih, dan yang kekurangan membayar lebih sedikit.”
Kelima orang ini pun pergi dengan diam, tetapi dalam hati mereka masih bingung.
Mukidi Yang Bersuka-Ria
Mukidi kembali sendiri. Dia berpikir: “Bisnis lagi bagus. Orang-orang ini memang pekerja yang rajin, tetapi mereka bodoh. Ketidaktahuan dan kenaifan mereka adalah kekuatan saya. Mereka meminta uang, dan yang saya berikan kepada mereka adalah rantai perbudakan.”
“Tentu mereka bisa saja membuang saya ke laut. Tapi nanti dulu… Saya punya tanda tangan mereka. Mereka orang-orang jujur, mereka akan menepati perjanjiannya. Orang jujur dan pekerja keras memang ada di dunia untuk diperbudak para ahli finansial.”
“Inilah Saya! Saya merasakan kegeniusan perbankan merangkai keseluruhan hidupku. Oh Tuhan! Terima kasi karena Engkau memberikan ketika saya berdoa: Izinkan saya mengontrol uang sebuah negara, dan saya tidak peduli siapa yang membuat hukumnya. Sayalah tuan di pulau itu karena sayalah yang mengontrol uangnya.”
“Jiwaku penuh dengan antusiasme dan ambisi. Aku bisa mengenalikan seluruh alam semesta. Apa yang aku, lakukan di sini bisa aku lakukan terhadap seluruh dunia. Oh! Andaikan saja saya bisa meninggalkan pulau ini, saya tahu pasti saya bisa mengendalikan seluruh dunia tanpa perlu mengenakan mahkota raja.”
“Kebahagiaan tertinggi saya adalah kalau saya bisa menerapkan filosofi ini di pikiran orang-orang yang akan memimpin masyarakat: bankir, industrialis, politisi, reforman, guru, jurnalis, dll, semuanya akan menjadi budakku. Publik akan merasa puas hidup dalam perbudakan di saat para elit di antara mereka akan menjadi pengawas mereka.”
Inilah cara berfikir seorang bankir!
Biaya Hidup Yang Tak Terjangkau
Situasi perlahan-lahan bertambah buruk di pulau ini. Produksi memang meningkat, dan aktifitas barter turun ke minimum. Mukidi menerima bunga pinjamannya secara teratur. Yang lain harus berpikir bagaimana menyisakan uang untuknya. Dengan demikian, uang tidak benar-benar beredar dengan bebas.
Mereka yang membayar lebih banyak pajak memprotes. Mereka menaikkan harga jual barangnya sebagai kompensasi atas kerugiannya. Mereka yang tidak membayar pajak akhirnya harus menghadapi biaya hidup yang terus meningkat. Bila seseorang akhirnya bekerja untuk yang lain, dia akan terus-menerus meminta kenaikan gaji untuk memenuhi ongkos hidup yang terus meningkat.
Moral sudah sangat rendah, tidak ada lagi kesenangan dalam hidup. Tidak juga semangat dalam bekerja. Untuk apa juga? Penjualan sangat sulit. Kalaupun menjual, akhirnya harus membayar pajak. Ini benar-benar sebuah krisis. Dan kelima orang ini saling menuduh satu sama lain bahwa mereka menuntut terlalu banyak harga dari yang lain.
Suatu hari, Jono, yang duduk merenungkan situasi mereka, akhirnya tiba pada sebuah kesimpulan akhir. Perubahan sejak kedatangan si perancang sistem moneter baru mereka telah merusak segalanya di pulau itu. Tentu saja, mereka berlima juga memiliki kesalahan, tetapi tetap saja sistem dari Mukidilah yang menyebabkan kerusakan terbesar.
Jono berhasil menjelaskan kepada teman-temannya. Satu demi satu dari mereka akhirnya paham, dan mereka pun memutuskan untuk mengadakan pembicaraan lagi dengan Mukidi.
Diperbudak Oleh Mukidi
Pertengkaran hebat pun terjadi.
“Uang benar-benar kurang di pulau ini kawan, karena Anda mengambilnya dari kami! Kami membayar dan membayar, dan tetap saja kami berhutang sama banyaknya seperti sebelumnya. Kami sudah bekerja dengan sangat keras, tetapi kondisi kami bahkan lebih buruk dibanding sebelumnya. Hutang! Hutang! Yang ada pada kami hanyalah hutang!”
“Oh, kawan, bicaralah yang masuk akal! Kehidupan kalian sudah lebih baik, berterima kasihlah kepadaku. Sistem perbankan yang baik adalah aset terbaik sebuah bangsa. Tetapi supaya bisa berfungsi maksimal, Anda harus mempercayai bankirnya.
Datanglah padaku seperti engkau datang pada ayahmu. Apakah uang yang Anda inginkan? Tidak masalah, simpanan emasku masih cukup untuk menerbitkan ribuan dolar yang lain. Saya akan meminjamkan kepada kalian seribu dolar lagi, Anda tinggal menjaminkan aset Anda kepadaku.”
“Jadi sekarang hutang kami menjadi $2000! Dan kami harus membayar dua kali lipat bunga sepanjang sisa hidup kami!”
“Ya, benar --- Tetapi saya akan meminjami kalian lagi saat nilai properti Anda meningkat. Kalian tidak perlu membayar saya apapun selain bunga. Kalian bisa menggabungkan semua hutang kalian menjadi satu, kita akan menyebutnya konsolidasi hutang. Kalian bisa menambah hutang itu, tahun demi tahun.”
“Dan menaikkan pajak, tahun demi tahun?”
“Tentu saja, tetapi pendapatan Anda kan juga akan meningkat setiap tahun.”
“Jadi, semakin pulau ini maju karena usaha kami, semakin besar hutang publik kami!”
“Iya, emangnya kenapa! Sama seperti di manapun di peradaban yang lain. Tingkat peradaban sebuah komunitas selalu bisa dilihat dari seberapa besar ukuran hutang mereka kepada bankir.”
Srigala Memakan Domba
“Itukah yang namanya sistem moneter yang sehat, Pak Mukidi?”
“Bapak-bapak, semua uang yang baik adalah berbasis emas, dan muncul dari bank dalam bentuk hutang. Hutang nasional adalah hal yang baik. Ini akan mencegah kalian merasa puas diri. Ini akan membuat pemerintahan manapun lebih bijak, yang diturunkan oleh bankir. Sebagai bankir, sayalah obor cahaya peradaban di pulau ini. Sayalah yang akan mendikte politik dan mengatur standar hidup kalian.”
“Pak Mukidi, kami bukan orang berpindidikan, tetapi kami tidak ingin peradaban seperti itu di sini. Kami tidak akan meminjam satu sen pun lagi dari Anda. Tidak masalah uang baik atapun tidak baik, kami tidak ingin lagi bertransaksi denganmu.”
“Bapak-bapak, saya benar-benar kecewa dengan keputusan kalian. Tetapi bila kalian mengingkari perjanjian ini, ingat, saya punya tanda tangan kalian. Bayar saya semuanya – pokok pinjaman dan bunga.”
“Tetapi itu mustahil, Pak. Kalaupun kami mengembalikan semua uang yang ada di pulau ini, kami masih tidak bisa melunasinya.”
“Saya tidak bisa membantu. Kalian sudah menandatangani perjanjian ini sebelumnya, bukan?”
“Berdasarkan isi kontrak, dengan demikian saya berhak menyita semua properti kalian. Kalian harus mentaati apapun yang saya katakan sekarang. Kalian akan terus mengeksploitasi pulau ini, dan terus melayani saya. Sekarang kalian keluar! Dan tunggu perintah dari saya besok.”
Mengendalikan Media
Mukidi tahu pasti siapa yang mengendalikan uang, dialah yang mengendalikan bangsa. Tetapi dia juga sadar, untuk mempertahankan kekuasaan, sangat penting untuk mempertahankan agar masyarakat tetap bodoh, dan terus mengalihkan perhatian masyarakat ke hal yang lain.
Mukidi mengamati bahwa dari 5 orang itu, 2 termasuk konservatif dan 3 adalah liberal.
Jono, yang termasuk netral di antara mereka berlima, menyadari bahwa mereka semua memiliki kebutuhan dan aspirasi yang sama, menyarankan agar dibentuk sebuah perserikatan bersama, untuk memberikan tekanan kepada penguasa.
Serikat semacam ini, tentu saja tidak diizinkan oleh Mukidi. Ini akan berarti akhir dari kekuasaannya. Tidak ada diktator dan ahli finansial manapun yang sanggup menghadapi masyarakat yang bersatu, masyarakat yang terdidik.
Dan dengan demikian, Mukidi pun mulai menciptakan perpecahan di antara mereka. Dia membiayai dua jenis Koran. “The Sun” untuk para liberal, dan “The Star” untuk para konservatif.
Topik umum “The Sun” adalah: Penderitaan terjadi karena kaum pengkhianat konservatif telah menjual kepentingan bersama kepada perusahaan besar. Dan topik umum “The Star” adalah: Hancurnya negara, bisnis pada umumnya, dan hutang publik adalah karena tanggung jawab para liberal.
Sebuah Harta Terapung
Suatu hari, Piko, saat berada di pantai, menemukan sebuah perahu kosong yang terapung di tepian.
Di dalamnya, terdapat sebuah naskah yang masih dalam kondisi baik, “Tahun Pertama Kredit Sosial.”
Dia membacanya dengan teliti, dan akhirnya dengan bahagia berkata, “Inilah yang kita cari! Seharusnya kita memahami hal ini sebelumnya.”
“Nilai uang datang bukan dari emas, tetapi dari produk di mana uang itu bisa digunakan untuk membeli.”
Sederhananya, uang adalah unit akuntansi, berpindah-pindah mengikuti pembelian dan penjualan. Total uang tergantung total produksi.
Setiap saat produksi meningkat, unit uang pun ikut meningkat. Tidak diperlukan bunga saat uang diciptakan. Kemajuan dinilai bukan dari naiknya hutang publik, tetapi dari dividen yang diciptakan oleh masing-masing individual. Harga barang adalah disesuaikan dengan daya beli dari koefisien harga. Kredit sosial.
Piko berlari dengan cepat, tak sabar untuk menemui teman-temannya.
Uang – Akuntansi Dasar
Piko mengajarkan kepada teman-temannya apa yang barusan dikirim oleh Tuhan kepada mereka, kredit sosial.
“Inilah yang kita perlukan, tanpa si bankir dan emasnya, tanpa perlu untuk melibatkan diri dalam hutang”
“Saya akan membuka masing-masing sebuah rekening atas nama kalian semua. Di sisi kanan kolom adalah KREDIT yang meningkatkan nilai rekening Anda, dan di sisi kiri adalah DEBIT yang mengurangi nilai rekening Anda.”
“Setiap orang membutuhkan $200 untuk memulai. Tak masalah. Kita menulis $200 di sisi kredit di buku masing-masing.”
Tono membeli dari Bejo sebanyak $10. Kita mengurangi $10 dari Tono, dan menambah $10 ke Bejo.
Pono membeli dari Bejo sebanyak $8. Kita mengurangi $8 dari Pono, dan menambah $8 ke Bejo.
Bejo membeli dari Tono sebanyak $15. Kita mengurangi $15 dari Bejo, dan menambah $15 ke Tono.
dst... sama seperti cara uang berpindah tangan sebelumnya.
Bila seseorang membutuhkan uang untuk meningkatkan produksinya, kita menerbitkan kredit yang diperlukan kepadanya. Setelah dia menjual produk-produknya, dia mengembalikan uang itu ke dana kredit. Demikian juga dengan pekerjaan umum, dibiayai oleh kredit baru.
Dengan demikian, secara periodik nilai di rekening masing-masing orang akan meningkat, tetapi tanpa mengambil nilai kredit dari orang yang lain. Uang, dalam cara ini, adalah pelayan manusia, bukan sebaliknya. Inilah dividen nasional.
Bankir Yang Patah Hati
Komunitas ini sekarang menjadi anggota kredit sosial. Hari berikutnya, Mukidi menerima selembar surat dari mereka berlima:
“Yang terhormat Bapak Mukidi! Anda telah mendorong kami ke dalam lembah hutang dan mengeksploitasi kami. Kami tidak membutuhkan Anda lagi dalam sistem keuangan kami. Mulai sekarang, kami akan menerbitkan uang kami sendiri, tanpa emas, tanpa hutang, dan tanpa pencuri. Kami akan mendirikan sistem kredit sosial di pulau ini. Dividen nasional akan menggantikan hutang nasional.
“Kalau Anda memaksa untuk dibayarkan kembali, kami akan membayar Anda semua uang yang Anda berikan kepada kami, tidak satu sen lebih dari itu. Anda tidak bisa mengklaim uang yang tidak Anda ciptakan.”
Mukidi putus asa. Kerajaannya mulai goyah. Impiannya pudar. Apa yang bisa dia lakukan? Segala argumen adalah percuma. Mereka berlima sudah memiliki kredit sosial. Uang dan kredit bukan lagi hal yang misterius bagi mereka berlima, sama seperti Mukidi.
“Oh Tuhan, orang-orang ini sudah menang lewat kredit sosial. Apakah saya sebaiknya meminta maaf kepada mereka? Ikut dalam sistem mereka? Tidak, tidak boleh! Lebih baik saya menyingkir dan menjaga jarak dulu dengan mereka!”
Kebohongan Yang Terbongkar
Untuk melindungi klaim di masa mendatang oleh Mukidi, kelima orang ini memutuskan bahwa Mukidi harus menandatangani dokumen bahwa dia telah mengambil kembali semua yang dia miliki sejak dia datang ke pulau ini.
Maka mereka pun melakukan inventori: perahu, dayung, mesin cetak, dan tentu saja emasnya.
Mukidi harus memberitahukan di mana dia mengubur emasnya. Kemudian mereka pun pergi menggalinya, tanpa perasaan respek yang berlebihan mengenai apa yang sedang mereka cari. Kredit sosial telah membuat mereka memandang rendah emas.
Mereka mengangkat tong yang berisi emas tersebut. Betapa terkejutnya mereka, emas yang diklaim Mukidi ternyata hanyalah berisi batu. Batu!! Mereka telah diperdayai Mukidi selama ini.
“Kita telah mengadaikan semua harta kita demi mendapatkan beberapa lembar uang kertas yang dijamin oleh batu! Ini perampokan, pembohongan!”
“Hampir saja kita memarahi dan membenci satu sama lain demi kebohongan ini. Dasar setan.”
Tono yang marah besar pun mengambil kapaknya, dan si bankir pun melarikan diri menuju hutan.
Selamat Tinggal Pulau Yang Berkah
Mukidi kemudian menghilang.
Tak lama kemudian, sebuah kapal melewati pulau mereka, dan melihat kelima orang ini. Mereka pun mengikuti kapal ini menuju ke tujuan kapal, Indonesia!
Mereka membawa bersama mereka naskah kredit sosial mereka, yang menyelamatkan mereka dari si ahli finansial licik, Mukidi, dan mereka pun berjanji akan berusaha menghubungi managemen yang menulis naskah ini begitu mereka sampai di Indonesia. Mereka sudah bertekad untuk menjadi juru bicara sistem ini.
***
Jika Kita kita analogikan cerita di atas kepada kisah sebenar umpama Pulau tersebut adalah Negara Republik Indonesia (NKRI), menurut anda siapakah sang Bankirnya, siapakah Medianya dan Siapakah yang berkuasa...?
Menurut editor peribadi, orangnya yang jelas itu-itu juga... Merekalah "penguasa" NKRI saat ini. Dan kita hanyalah "budak-budak" yang di paksa menguras tenaga, peras keringan dan banting tulang siang dan malam untuk memperkaya mereka padahal kita di tanah kita sendiri...
Sekalilagi, ingat, Kita di tanah kita yang kaya sumber daya, tapi kita masih miskin dan kelaparan sehingga sanggup menjual akidah dan kebenaran saking laparnya.
Semoga menjadi bahan renungan....